Senin, 12 Maret 2012

KADO VALENTINE YANG TERINDAH

" kak aya "ucap adik ku chicha dr tangga atas 
" apa cha ??" tanya ku
" kk kan 2 minggu lagi mau valentine kk udah siapin kado buat chicha ??" tanya adik ku manja
" blom "
" ihh kk jahat deh "
aq pun langsung mengambil tas ku yg ada di kursi dan langsung pergi sekolah .....
  
ups lupa knalin aq aya n yg manja tadi itu ade aq ,, aq sama ade aq itu tinggal sama mami n papi tp mereka jarang di indo mereka hanya 1 kali dalam 3 bulan pulang ,, dan aq sama chicha termasuk anak yg kurang kasi sayang ... chicha masih duduk di kls 1 sma sedangkan aq kls 3 sma ....

@ sekolah
" pagi aya " sapa dicky sahabat ku
" ngapain lo baikin gw ??" tanya ku penuh curuga
" gw minta izin ngajak chicha pergi valentine boleh ga ??"
" gmana ya ??
" ayolah ya "
" gmana ya "

chicha pun datang
" kk aya kok tadi ninggalin chicha ??"tanya chicha manja
" yah km lelet kk kan ga suka orang yg lelet " jls ku
" ia deh "
" oya ky , cha kk dluan ya " pamit ku
" ok "  ucap chicha dan dicky serentak

aq pun langsung berjalan ke arah klas ku

tp tiba2 ada yg memegang tangan kudan dya adalah bisma mantan ku
" apaan sih " bentak ku
"aya km knp sih ??" tanya bisma
" apaan ?? aq ga knp napa bis " ucap ku lagi dgn suara yg keras
" trus km knp menghindar dr aq??"
" aqga menghindar bis " ucap ku lagi
" trus ??"
" aq cuma ga mau rara sedih ngeliat kita ,, rara itu sahabat aq dan aq ga mau buat dya sedih bis " jls ku
" ia aq tau ya tp km kan tau klo aq ga cinta sama rara ... " ucap nya dan tak kami sadari rara ada di sana
" kalain berdua tega ya " ucap rara
" ra ini ga seperti apa yg lo bayang kan " bela ku
" gaseperti apa yg gw bayangkan ??? lo mikir dong ya pacar gw bilang kya gitu kesahabat gw " ucap rara sambil nagis
" tp gw ga ada hubungan apapun sama bisma ra " jls ku tp rara masih saja tak percaya dan langsung pergi
" gw minta maaf ya " ucap bisma bersalah
aq pun langsung pergi

@ taman
di sini gw sama bisma ngerayain hari2 kita dgn bahagia tp sahabat gw rara juga mencintai bisma ,, gw pernah punya hutang budi sama rara karna rara udah nolongin gw dlu waktu gw masih ga pe dean sama diri gw sendiri apalagi waktu ada ilham cinta pertama gw sekaligus sahabat rara ,,, ilham sangat baik tp dya ninggalin gw sama kya sahabat2 gw yg laen dan cuma rara yg setia sama gw ... tp pengorbanan ilham masih teringan di saraf gw ..

flasback
saat gw dan ilham pergi ketaman itu ilham dan kami bercanda ria ..
" aya km cantik deh " puji ilham
" makasi ya ham "
" ia "
" oya ham aq bili minuman dlu ya " pamit ku
" ia aq tunggu ya n beliin juga aq juga ya ya yg rasa vanila " ucap ilham
" ia "

aq pun langgsung pergi ke ujung jalan dan karna kelamaan ilham pun menyusul ku kesana
" aya awas " ucap ilham yg langsung mendorong ku
aq dan dya terlempar ke pembatas jalan .. aq tidak knp2 tp kpala ilham terluka di bagian belakang tp cuma dikit ... sejak itu aq dan ilham berpisah
flas off
 " lo knp ??" tanya seseorang cwo yg duduk di samping ku
" gpp ko " ucap ku berbohong
" owh .. oya lo mau ??'ucap cwo itu sambil memberikan es cream yg rasa vanila

air mata ku pun jatuh mengalir
" lo knp ??" tanya cwo itu
" gpp kok gw cuma ke inget temen gw ajj " ucap ku lagi
" siapa ya ?? apa orang itu ilham ??" tanya nya lagi

aq pun langsung terkejut
" lo ?? " ucap ku yg menunjuk orang itu
" knp aya ??" tanya nya
" ilham ?? " ucap ku yg langsung pergi
" aya tunggu gw ya " ucap nya yg langsung mengejar ku

jalan raya
" aaaaaaaaaaaaaaaaaaa " triak ku
aq pun tertabrak olh sebuah mobil

ilham pun membawa ku ke rs dan mengabarkan ke smua keluarga

2 minggu pun berlalu
selama 2 minggu ini banyak yg terjadi

akhir nya aq sadar dan membuka mata ku ... aq melihat smua yg aq sayang ada disini termasuk ilham
" gw minta maaf ya aya " ucap rara yg langsung memeluk ku
"  ia tp maafin gw juga ya "
' oke "
" aya gw sama chicha udah jadian loh " ucap dicky heboh"
" kk dicky apaan sih " ucap chicha malu2 n juga manja
" mami sama papi juga minta maaf ya sayang " ucap mai n papi dgn rasa bersalah karna tlah menelantarkan aq n cicha
" aq juga minta maaf ya " ucap ilham dgn wajah malaikat
aq pun langsung memeluk nya
" ia aq maafin kamu kok " ucap ku sambil memeluk nya erat

" oya kak ini kado valentine " ucap chicha yg memberikan sbuah cincin untuk ku
" kok cincin ??" tanya ku heran
" ya tanya aja sendiri sama kak illam " ucap chicha lagi
" maksud nya apa ham ??" tanya ku
" km mau ga tunangan sama aq " tanya ilham romantis
" ia aq " ucap ku malu

dan akhir nya aq bahagia ...

the end

Minggu, 11 Maret 2012

7 Years of Love

Desember 2011
Tak bosan. Tak akan pernah bosan aku menatap sesosok gadis di hadapanku. Tetap cantik, meski kini ia tengah terbaring lemah dengan wajahnya yang pucat pasi. Entah mengapa, dalam tak kesadarannya aku seakan melihatnya tengah tersenyum kepadaku. Senyum yang tak asing buatku. Senyum yang akrab menyapaku di setiap hari-hariku….. dulu,,,,
“Aku merindukanmu”
Ucapku terisak bukan untuk yang pertama kalinya. Aku yakin ia akan mendengar apa yang ku katakan, walau tubuhnya tak bergerak sedikitpun. Hanya suara dari mesin pendeteksi detak jantung yang ramaikan suasana yang ada kini. Aku merindukannya. Benar-benar merindukannya.
*****

28 Desember 2010

“Pritha, ada bintang jatuh!!!”
“Lalu?”
“Kata orang sih, kalau ada bintang jatuh… segala keinginan kita akan terwujud”.
“Apa kamu percaya sama hal itu? Kamu kan cowo?”
“Emang cowo nggak boleh percaya begituan?! Udah deh, mending kita coba dulu ajah!!”
Langit malam bersolek indah malam ini. Gemintang anggun hiasi kepekatan malamnya. Dan di bawah dekapan malamnya, ku habiskan waktu bersama Pritha, sahabatku. Seorang gadis cengeng yang periang, menyenangkan sekaligus menyebalkan. Gadis kecil keras kepala yang terus mengajakku untuk main boneka bersamanya, meski ia tahu bahwa aku seorang bocah laki-laki. Gadis cilik yang super cerewet dan mau menang sendiri. selalu memaksa aku untuk terus memboncengnya mengelilingi kompleks perumahan kami, meski kami sudah mengitarinya lebih dari 5 kali.
“Udah berapa lama ya kita saling kenal?” tiba-tiba pertanyaan itu terlontar dari bibirnya.
“Nggak tau!! Emang kenapa? Toh, pada awalnya aku terpaksa kan mau main dan kenal sama kamu!”
“Bawel amat sih, aku serius,Pram!!”
“Emang siapa yang nggak serius sih?!”
“Jadi udah berapa lama ya kita jadi sahabat?”
“Enam tahun”.
“Sok tahu! Emang kamu beneran yakin?”
“. . . .”
“Prithaaaaaa!!!!” tiba-tiba suara tante Vivi hadir memecah sunyi yang ada di antara kami.
“Dipanggil noh, Non.”
“iya iya,..aku duluan ya Pram. Sampai besok…:)”
“Aku yakin banget,Tha. Kita udah deket selama enam tahun. Aku nggak bakal lupa. Nggak akan pernah lupa, Tha. Besok adalah genap enam tahun pershabatan kita. Semoga kamu juga nggak lupa”, ucapku dalam hati setelah sosok Pritha melangkah menjauh dariku.
*****

29 Desember 2010
“‘dddrrrrt….dddrrrttt…ddrrrttt’
From :     Pritha
        +628133xxxxxxx
Pram, jangan lupa ya. Hari ini kita janjian di taman biasa. Jam 9. Oke? Aku tunggu.
. . .
Sekali lagi ku lirik jam tanganku. Pukul 9.05. Sampai saat ini aku belum menemukan sosok Pritha. Tak biasanya ia terlambat. Dia selalu tepat waktu. Padahal, tadi aku sudah benar-benar terburu waktu, berusaha untuk tak terlambat walau hanya untuk kali ini saja. Kekesalanku mulai muncul. Apa Pritha sengaja datang terlambat untuk mengerjai aku? Awas saja dia.
Sembari menunggu, ku pandangi tulisan yang terukir di pohon Mahoni yang rindang ini. Kami menulisnya tepat enam tahun yang lalu. Dan sejak itulah, kami tetapkan hari itu sebagai hari jadi kami sebagai seorang sahabat. Sahabat yang akan selalu hadir disaat salah satu di antara kami jatuh ataupun sebaliknya. Sahabat yang selalu menjadi pendengar paling baik bahkan terkadang melebihi orangtua kami sendiri. Selalu ada. Selalu bersama. Sekarang. Dan selamanya. Amiin J
9.15. Pritha masih belum menampakkan sosoknya. Apa dia baik-baik saja? Tak seperti biasanya ia terlmbat. Apalagi dia yang membuat janji. Tak ada jawaban dari panggilan ku ke ponselnya. Semua pesanku juga tak mendapat respon.
To :    Pritha
        08133xxxxxxx
Tha, kamu dimana? Uda jam beapa ini, Sayang? Inget ya, aku sibuk. Nggak bisa nunggu lama-lama aku. Kalau bisa bales sms ini. Harus!!!. Still waiting for you, Tha.
Tiga puluh menit.
Empat puluh lima menit.
Dan sekarang, hampir satu jam aku menunggunya. Pritha masih belum hadir di sini. Aku ingin marah. Aku benar-benar merasa dihianati. Tapi, sepertinya aku tak bisa. Ingin aku segera angkat kaki dari tempat ini. Hilang harap sudah untuk yakin bahwa Pritha akan menginjakkan kakinya di taman ini. Baiklah lima menit lagi. Ku beri kesempatan lima menit lagi. Tak lebih. Pritha, ku mohon…
----Lima menit kemudian….----
“Pramana!!!”
Sebuah suara menghentikan langkahku. Suara yang tak asing, begitu akrab di telingaku, namun terdengar lemah. Suara Pritha. Aku berbalik. Dapat ku lihat seutas senyum tersimpul di wajah Pritha. Ia tampak pucat. Lemas. Apa dia sakit? Tapi,….
“Maafin aku yah, Pram….” Dia berhamburan ke pelukanku. Ia menangis sejadi-jadinya. “Kamu marah kan sama aku? Maaf banget, Maaf”.
Ku rasakan bulir-bulir bening hangat basahi bajuku. Aku tak mampu berkata-kata. Aku sendiri bingung dengan perasaan yang berkecamuk di dadaku. Apa ku harus marah pada sahabatku? Atau apa? Aku harus bagaimana? Aku tak tahu.
“Nggak, Tha… nggak,….” Ku tarik tubuhnya dari dekapanku.
“Pramana,…??” ujarnya pelan. Meluncur lagi bulir-bulir bening dari kedua pelupuk matanya.
“Nggak, Tha…. Nggak ada yang perlu dimaafin. J” ku rasakan dingin pipinya saat ku usap air mata yang mengalir dari pelupuk matanya. “Emang tadi kamu kemana?”
“Emm,… anu… ee… er… tt..taadi…”
“Tadi kenapa?” potongku sambil menariknya untuk duduk di rumah pohon kami.
“Tha, tadi kenapa?” ku ulang pertanyaanku sesampainya kami di atas (di rumah pohon)
“Tadi,….. jam di rumahku mati. Ya, jamnya mati. Jadi aku nggak tau kalau uda jam 9 lewat. Sori yah,…”
“kenapa nggak bales sms ku? Toh kamu juga bisa lihat jam yang ada di hape kamu kan?”
“Em, hapeku mati. Batrey.nya habis. Sori…”
“Trus, jam di rumah kamu kan nggak cuma satu kan, Tha?”
“Iya sih, Cuma nggak tahu tuh… pada rusak berjamaah. Tadi papa juga telat pergi ke kantor. Trus mama juga—“
“iya iya. Aku ngerti kok. Nggak usahpanjang-panjang ceritanya. Bawel!!”
“Dasar kamu!! Masih aja ya nyebelin.”
 “Emang kamu ngapain ngajak ketemuan? Mau traktir nih?”
“Iih, nih orang. Doyan banget ama yang gratisan. Emang kamu lupa ya?”
“lupa?”
“hari ini kan genap enam tahun kita sahabatan. Pikun banget sih kamu!!”
“O.” jawabku sekenanya.
“Sumpah ya, kamu itu,….. awas kamu, Pram…!!!” protesnya sambil memukul ku gemas.
“Tentu aku nggak lupa, Tha. Dan aku seneng kamu juga nggak lupa”, batinku.
. . . . .
Kami habiskan seharian untuk mengulang segala cerita akan kenangan yang telah kami jalani bersama. Segala protes ia ajukan atas keisenganku selama ini. Dengan riang ia bercerita dan tentunya dengan senyumnya yang tak pernah hilang. Selalu hadir seperti biasanya. Senyumnya indah, meski harus hadir di wajahnya yang selalu pucat. Sejak awal kami bertemu, memang ia tampak pucat. Awalnya aku mengira dia mayat hidup, tapi…. Aku ragu akan ada mayat hidup yang bawel dan super cerewet seperti dia. Dia tergolong anak tertutup. Jarang keluar rumah. Orangtuanya super protektif terhadapnya,meski kini ia sudah duduk di kelas XII SMA. Tapi, aku tahu Pritha bukan anak manja. Aku juga yakin, orangtua Pritha pasti punya alasan kuat untuk bertindak protektif terhadapnya hingga detik ini.  Mungkin, karena dia anak perempuan satu-satunya,….
“Tha,…”
“Apa?”
“Kamu janji nggak bakal kaya tadi ya?”
“Maksud lo? ” jawabnya terheran-heran akan sikapku.
“Dasar oneng ya!! Gue tuh coba bersikap perhatian dan romantis sama lo!! Respon yang agak bagus dikit kek!!” protesku.
  Dia hanya nyengir dan kembangkan sebuah senyuman di wajahnya kemudian. “Pram, kamu mau janji sesuatu sama aku?”
“Apa’an?”
Dia menatapku lekat-lekat. Tampak sebuah rahasia tersimpan dalam dirinya. Sesuatu yang sengaja disembunyikan dariku olehnya. Ditariknya napas panjang, dihembuskannya perlahan kemudian.
“Kalau nanti aku nggak bisa lama-lama ada sama kamu, ataupun nggak bisa lagi main bareng kamu, kamu jangan marah sama aku yah, kamu—“
“Kamu ngomong apa sih?” potongku cepat. Kata- katanya sangat tak ku mengerti. Bahkan aku merasa aku membenci untuk mengerti kata-kata yang baru saja ia ucapkan.
“Dengerin dulu…., Pram”
“Bodo amat!!” jawabku sekenanya.
“Pramana,…” rengeknya.
“Udah sore, yuk pulang. Aku anter”
“Tapi,…”
“Udah, Aku nggak mau Tante Vivi entar ngomel-ngomel ama aku…”
“Pram,…”
“Udah. Ayo!!..” paksaku sambil menarik tangannya yang makin terasa dingin.
*****

26 Desember 2011

“Nak, Pramana….” Suara tante Vivi lembut menyapaku. Membangunkanku akan lelap.
“Udah malem, Sayang. Kamu pulang gih. Besok kamu harus kuliah kan? Bidang kedokteran bukan hal mudah, Sayang”
“Iya sih, Tan. Tapi… Pritha kan….”
“Kan ada tante disini. Besok masih ada hari, kamu kan bisa ke sini lagi?”
“Ya udah tante, Pramana pulang dulu. Assalamu’alaikum..”
“Wa’alaikumsalam. Hati-hati ya, Sayang”
Suasana kota Bandung makin ramai. Kerlap-kerlip lampu kota beradu indah di pinggiran jalan protocol utama. Suasana berbeda sungguh terasa saat aku melangkah keluar dari gedung rumah sakit yang serba putih. Ku teruskan langkahku ke gerbang utama rumah sakit. Ku hentikan sebuah taksi. Ku komando sang sopir untuk bergegas menuju ke rumah karena hari makin larut, aku tak ingin membuat mama khawatir akan aku. Dalam taksi teralun lagu “Seven Years Of Love” . Sebuah lagu yang kembali membangkitkan ingatanku akan kenangan bersama Pritha dulu. Saat dimana aku bisa melihat senyumnya yang menenangkan. Teringat olehku, bahwa tepat 3 hari lagi pada setahun lalu adalah hari dimana aku dan Pritha sempat kembali mengukir janji. Pritha, aku yakin kamu tak akan pernah melupakan janji kita itu.
*****

29 Desember 2010
“Kak, ini lagu apa?” tanya Pritha sesampainya kami dalam mobil.
“Pak Maman jalan yah. Udah sore nih, kasian Pritha”
“Iya, Den” jawab Pak Maman,sopir pribadi keluargaku, patuh.
“Ih, Pramana. Jawab dong. Ini lagu apa?”
“Iya. Iya. Nyantai aja kali”
“Jadi?”
“. . .” K
“Dasar!! Mending tanya Pak Maman aja. Pak, ini lagu judulnya apa’an yah?”
“Maaf, Non. Pak Maman nggak tahu lagu bule kaya beginian.” Jawab Pak Maman terlalu jujur.
“Emang kenapa sih, Tha?”
“Aku suka ajah. Nggak boleh?”
“Suka lagunya atau penyanyinya?”
“Yee,… “
“Ini lagu judulnya, Seven Years of Love” jelasku
“Kok tahu?”
“Ya tahu lah. Ini lagu kesukaannya Findha. Dulu dia suka banget ama penyayinya. Jadi dia ngoleksi album plus posternya. Dan ini salah satu lagunya”.
 “Oh. Maaf kalau aku jadi harus ngungkit-ngungkit masalah Findha. Aku..—“
“Nggak apa. Nyantai aja. :)” potongku kemudian.
“Tahun depan, aku harap kita bisa main-main lagi kaya tadi. Tahun ketujuh persahabatan kita. Dan pastinya terus berlanjut sampe tahun-tahun persahabatan kita berikutnya.”
“Kamu kenapa sih? Pastinya lah kita bisa terus temenan. Kita masih punya banyak waktu, Tha. Kamu kenapa sih?”
Ia hanya diam. Keheningannya semakin membuatku penasaran akan apa yang terjadi pada diri Pritha. Sebenarnya apa yang disembunyikan olehnya? Oh, Pritha. . . .
“Janji?” ucap Pritha sambil mengangkat kelingkingnya.
“Untuk?” tanya ku keheranan.
“Tetaplah menjadi sahabatku dan tetaplah berada di samping dan—“
“Janji” ucapku memotong perkataanya. Ku kaitlan kelingkingku pada kelingkingnya kemudian.
*****

Mei 2011
Ujian sekolah telah usai. Namun, aku beserta kawan-kawan lainnya masih belum benar-benar merasa merdeka. Kami masih harus berjuang dan bersaing untuk dapat masuk perguruan tinggi yang kami inginkan. Dan kurang seminggu ke depan merupakan hari dimana hajat akbar di sekolah kami akan dilaksanakan, Hari Perpisahan. Hampir semua siswa antusias dalam hal ini. Berharap ini merupakan sebuah momen yang tepat untuk mengukir sebuah kenangan terindah yang ada. Namun harapan itu seakan jauh berbeda akan keadaan yang terjadi belakangan ini. Pritha tiba-tiba menghilang. Tiada sedikitpun kabar darinya. Ia seakan hilang ditelan sang bumi.
Tak hanya sekali aku menghubungi ponselnya, namun tetap tiada jawaban. Tak hanya satu dua pesan yang ku kirim padanya, namun tak satupun yang dibalas. Aku coba mengirim pesan padanya melalui dunia maya, tetap tak ada respon. Hingga hari ini, sepulang sekolah, ku putuskan untuk mendatangi rumah Pritha.
Ting tong
Ting tong
Tak ada jawaban. Kali ini adalah panggilan terakhir dariku. Sebagaimana adab yang ada, jika sang pemilik rumah sudah dipanggil 3 kali dan ia tak kunjung menyambut. Maka sebaiknya kita pulang, karena mungkin sang tuan rumah sedang sibuk atau ada suatu kepentingan, atau saja ia sedang tidak mau diganggu.
Ting tong. . .
Bel terakhir telah aku bunyikan. Berharap kali ini benar-benar mendapat jawaban.
Satu menit…. Dua menit…
“Maaf, Den. Cari siapa?” seorang wanita paruh baya berpakaian sederhana menyambutku. Beliau Bi Imah, pembantu di rumah Pritha.
“Pritha ada, Bi?”
“Em… anu, Den… Emm—“
“Kenapa, Bi? Pritha baik-baik aja kan?” sergapku kemudian.
“Aden ndak tahu toh?”
“Tahu apa. Bi?”
“Non Pritha kan lagi keluar kota sama Tuan dan Nyonya”
“Apa? Kok Pritha nggak pamit ama aku, Bi? Pritha baik-baik aja kan?”
“Em,,, anu, Den.. Bibi… ndak tahu” jawab Bi Imah ragu-ragu.
“Bibi nggak bohong kan?”sergapku pada Bi Imah. Aku merasa ada sesuatu yang mengganjal akan kepergian Pritha dan keluarganya
“Nn…nndak kok, Den. Bener” jawab Bi Imah dengan suara pelan.
“Yaudahlah, Bi. Pramana pulang dulu. Nanti kalau mereka udah pulang, bilang yah aku kesini nyari Pritha” ucapku pasrah kemudian. “Assalamu’alaikum…”
“Wa’alaikumsalam…”
****

Hening masih ada. Berputar-putar di antara kami. Aku, Pak Arif, guru Biologiku, dan Pak Sucipto, Kepala Sekolah. Aku masih terus bertanya-tanya akan alasan mengapa aku dipanggil ke ruang kepala sekolah. Hal penting apa yang akan dibicarakan beliau denganku? Kabar baik atau kabar buruk? Dua menit sudah pertanyaan itu berputar-putar di otakku. Dan dalam waktu dua menit pula, aku serasa akan mati tercekik rasa penasaran.
“Ehem.. ehem…” Pak Kepala sekolah berdehem, tanda beliau akan memulai pembicaraan.
Pak Arief tampak menggut-manggut, tanda beliau siap untuk mendengarkan setiap kata yang akan keluar dari Pak Sucipto.
‘Dag.. dig… dug.. dyar!!’ detak jantungku berdetak kencang, tanda aku siap untuk menerima segala kabar baik yang ada, juga sebagai tanda bahwa aku tidak siap menerima kabar buruk yang ada.
“Begini, Nak Pramana……” beliau memulai pembicaraan. “apa kamu sudah mendaftar untuk jenjang berikutnya di salah satu universitas?”
“I..ii..iya, Pak”
Pak Sucipto hanya manggut-manggut. Perlahan aku mulai berani mengangkat kepalaku. Ku tatap lekat-lekat kepala botak beliau yang terlihat berkilau di bawah sinar lampu TL.
“Selamat ya, Nak…” Pak Arief tiba-tiba angkat bicara. “Kamu mendapat tawaran program beasiswa di alah satu universitas terkemuka, dan—“
“Beneran, Pak!!” sambungku cepat, tak perduli Pak Arief sudah menyelesaikan kalimatnya atau belum. Yang penting hepi ajalah J. “Wah makasih nih, Pak…” ku raih tangan Pak Sucipto dan Pak Arief, dan ku cium punggung tangan beliau berdua bergantian.
“Iya ya , Nak…. Selamat untuk kamu” ucap Pak Sucipto penih wibawa.
“Ada masalah, Pak?”
“Begini, Nak… pihak universitas te;ah melihat hasil belajar kamu selama bersekolah di SMA ini…”
“Dan?”sahutku tak sabar.
“Mereka menawarimu untuk masuk dalam bidang kedokteran. Apa kamu berminat untuk masuk dalam bidang itu? Asal kamu tahu, Nak. Bapak sangat mendukung jika kamu masuk dalam bidang itu”
“Begitu pula dengan Bapak, Pramana. Bapak sangat mendukung tawaran itu. Ini kesempatan emas buatmu, Nak…” tambah Pak Sucipto.
“Biar saya pikirkan dahulu, Pak” jawabku sekenanya.
“Baik baik… bapak beri kamu waktu sampai awal bulan depan”
“Terimaksih, Pak”
“Sekarang kamu bisa kembali, Nak”
“Permisi, Pak..”
*****

30 Mei 2011
Kedokteran? Aku benar-benar tak yakin akan tawaran itu. Aku sama sekali tak tertarik dalam bidang itu. Namun Pak Arif benar juga, ini kesempatan besar buatku. Aku harus bagaimana?
Masih dibawah pengaruh rasa bingung yang tak karuan, ku buka laptopku. Ingin ku hilangkan semua penatku. Ku gerakan jemariku merangakai sebuah URL yang sedang digandrungi remaja sebagian besar, www.facebook.com. Setelah melaluiproses log in, aku telah sampai pada beranda dunia mayaku. Betapa terkejutnya aku saat kulihat akan adanya puluhan pesan dan pemberitahuan pada akun facebook-ku. Dan…. Itu semua dari Pritha.
Dia kembali… pantaskah aku mengatakan kata ‘kembali’ untuk munculnya kabar dari Pritha? Huh, aku tak tahu.
“Pramanaaaaaa… toktoktok” suara Ibu buyarkan lamunan ku yang tak karuan. “Ada Nak Pritha di depan…. Temuin gih,,,”
“Apa? Pritha?” batinku. “Iya, Bu… bentar…” sahutku kemudian. “Pritha muncul setelah sebulan lebih menghilang…sebenarnya apa yang dia inginkan?” batinku masih tak percaya.
. . . . . .
“Hai, Pram….” Sapa Pritha saat aku baru muncul dari balik tembok. Aku masih tak tahu apa yang harus ku katakan padanya. Haruskah rasa marah dan kecewa atas hilangnya kabar darinya secara tiba-tiba, yang ku tunjukan? Atau, haruskah ku tumpahkan segala rasa rinduku padanya dan mengenyampingkan semua kecewaku?
“Ngapain lo kesini?” tanyaku begitu saja.
“Sory Pram,… aku…”
“. . . .”
“Aku ada keperluan ama keluargaku di luar kota. Dan itu mendadak banget. Dan aku—“
“Nggak bisa pamit atau ngasih kabar kek?!” potongku, kesal.
“Em… Aku…”
“Kenapa? Apa susahnya sih, Tha?? Gue kecewa ama lo!!”
“Pram,… aku,,,” dia hanya menangis. Air matanya mengalir deras dari kedua pelupuk matanya. Huh, aku membenci pemandangan ini, melihat Pritha menangis.
“Udah lah, Tha! Kalo Lo uda nggak mau kita sahabatan lagi, bilang aja. Nggak usah kaya gitu, ngilang nggak ada kabar. Sms, e-mail, telpon nggak ada yang lo respon.” Ucapku mencak-mencak.
“Pram,…” suaranya melemah. Wajahnya yang sedari tadi pucat, makin memucat kini. Air matanya terus mengalir.
Dia menangis.
Aku kian terbakar api emosi.
“keluar dari sini!” ucapku padanya dengan nada lebih rendah dari sebelumnya.
“Pram,… aku—“
“PERGI!!!” bentakku kemudian.
Aku berbalik. Berharap Pritha tak mengetahui akan air mataku yang mulai meluncur mulus di pipiku. Berharap Pritha segera menghilang dari rumahku. Masih ku dengar isaknya untuk beberapa lama. Kemudian, ku dengarkan langkah kaki yang gontai menjauh dariku. Pritha pergi…. Entah dia akan kembali atau tidak,… aku tak tahu…
Aku masih berdiri terpaku di sini. Di tempat, dimana aku telah mengusir Pritha, sahabatku. Potongan-potongan episode saat aku bersama dia bermain dalam memoriku. Bagai film yang tengah di putar pada layar besar, begitu cepat. Gambaran akan kebersamaanku dengan Pritha teramat jelas terlihat dalam anganku. Haruskah semua kenangan iindah itu berakhir sampai disini?
“Prithaaaaaaaa” ku teriakkan namanya sekeras mungkin, berharap dia akan berhenti menjauh dari rumahku. Ku balikan tubuhku, segera aku berlari menyusulnya.
“Tha…” ku tangkap sosoknya yang kian menjauh dari pintu utama rumahku. “Prithaaaaaaaa” kali ini ku teriakkan namanya lebih keras lagi.
Dia berhenti.
Aku pun berhenti berlari.
Dia berbalik.
Aku melangkah mendekatinya.
Dia menatapku.
Aku pun menatapnya.
“Tha…” ucapku dengan napas tersengal.
“Pram,…. Aku—“
“Maafin aku ya, Tha..” ku raih tubuhnya dan menariknya dalam dekapan tubuhku.
“Maaf,…Maaf Pram…” ucapnya sambil terisak dalam dekapanku.
“sssst…..” ku letakkan telunjukku pada bibirnya yang pucat. “Udah,.. udah…semua udah berlalu. Aku yakin kamu punya alasan yang kuat untuk kepergian kamu. Em,,,,,aku ada kabar baik nih,,,”
“Oh ya… apa?” ucap Pritha sambil mengusap garis air mata di pipinya.
“Aku dapet beasiswa, Tha….”
“Oh ya? Waw, selamat yaa…” ucapnya girang sambil memelukku. “Hebat kamu…jurusan apa?”
“Itu masalahnya… aku bingung. Mereka nawarin aku di bidang kedokteran.. kamu tahu kan, aku kurang ada minat dalam bidang itu—“
“keputusan kamu gimana?”
“. . . “ aku hanya dapat mengangkat bahu.
“Kamu tanya sama hati kamu” ucapnya sambil menunjuk dadaku, menunjuk dimana hati kecil berada
“ :) makasii, Tha. Lo emang yang terbaik…”
“:)”
“Ntar malem aku mau traktir kamu makan. Oke? Buat ngerayain ini. Ntar aku jemput deh. Gimana?”
“Nggak usah jemput lah. Nanti aku usahain ya, Pram…. Aku pulang dulu, tadi aku bilang ke Mama nggak bakal lama-lama soalnya.. Assalamu’alaikum”
“okeh. See you later, girl!! Jam 7 yah… Ati ati. Wa’alaikumsalam”
*****

20.00
Satu jam lebih aku mematung di sini. Ku lirik jam tanganku, berharap waktu berhenti detik ini juga. Ingin ku berikan kesempatan pada Pritha untuk dapat hadir di sini tepat waktu. Tapi….. lagi lagi ia tak tepat waktu. Lagi lagi ia tak memberikan kabar padaku. Ada apa lagi dengannya? Akankah dia menghilang lagi?
Jarum jam menunnukan pukul 20.45. Seharusnya kami telah berkumpul, menghabiskan waktu bersama dengan senda gurau, dengan tawa, dengan kegembiraan. Tapi…. Yang ada hanya aku yang sendiri, dalam hening, dalam sepi.
21.00
Ku putuskan untuk kembali ke rumah seorang diri. Seharusnya aku melangkah pergi dari tempat ini berdua. Mengantar Pritha pulang, karena hari telah larut. Semua tinggal rencana….. lagi lagi Pritha mengingkari janjinya. Janji untuk datang pada malam ini. Janji untuk selalu memberi kabar akan suatu halangan yang terjadi padanya. Lagi lagi Pritha telah membuatku kecewa.
****

Juni 2011
 “Pram,… ada yang nyari tuh!!” seru Rendra kawanku dalam satu tim basket.
“Siapa?”
“Tuh” ucapnya sambil menunjuk seorang gadis bermbut panjang dan berwajah pucat.
“Pritha?”
“. . .”Rendra hanya mengankat bahu. “Cantik loh, tapi sayang wajahnya pucet banget. Temuin sono”
. . . .
“Ngapain lo di sini?” ucapku kesal saat sampai di hadapannya.
“Aku tau hari ini kamu ada jadwal latihan basket. Jadi aku langsung ke sini aja. Dan ternyata tebakan aku bener, kamu ada di sini”
“Pulang sana! Aku sibuk!”
“Kamu marah?” dia bertanya dengan wajah polosnya. “Pram, ….aku--”
“Peduli apa Lo!! Pulang sana, gue nggak butuh temen kaya Lo!! Muna!”
“Aku bisa jelasin, Pram… malam itu aku—“
“Kenapa? Lo nggak bisa dateng karena jam di rumah lo mati lagi? Hape lo low batt, jadi lo nggal bisa sms buat ngasih kabar ke gue?!” omelku panjang lebar padanya. “Udah deh…. Gue capek!! Nggak sekali lo kaya gini”
“Pram..aku—“
“Dan lo juga tahu kan, gue paling nggak bisa toleran ama orang muna kaya Lo!!!!”
“Tapi, aku punya alasan untuk ini, Pram!!! Dengerin dulu penjelasanku—“
“Udah jelas semua!!!” potongku dengan nada suara yang kian naik. “PERGI LO!!! Enek gue ngeliat lo di sini!!” kata-kata jahat itu keluar tak terkendali dari mulutku. “PERGI!!!”
Aku berbalik dan segera melangkah pergi menjauh dari Pritha. Berharap kali ini aku tak akan berbalik dan mengejarnya seperti dulu. Hatiku terlanjur luka dan bernanah. Aku benar-benar kecewa.
. . . . .
---beberapa menit kemudian---
“Pram… pram praaam…..” Dudi tergopoh gopoh ke arahku yang sedang asyik berkeluh kesah dengan bola basket.
“Ngapain?” jawabku malas.
“Cewe tadi... cewe yang barusan lo temuin—“
“Kenapa lagi?” potongku cepat. “dia balik lagi? Maksa pengen ketemu gue lagi? Usir aja! Bilang gue lagi sibuk. Repot amat!”
“Eh…. Bukan!!! Denger dulu!!” bantahnya. “Dia pingsan!!”
“hah..” sahutku dengan mata melotot dan hati yang kaget bukan main. “Dimana?”
“Di gerbang depan. Anak-anak lagi ngerubungin dia tuh”.
Segera ku berlari menuju TKP.
Tubuh gadis itu terbujur lemah. Wajahnya kian pucat. Mengalir darah segar dari kedua lubang hidungnya. Orang-orang di sekitarnya hanya terdiam, asyik menonton penderitaanya. Segera ku raih tubuhnya. Ku periksa denyut nadinya. Kian melemah. Pun kulitnya kian terasa dingin.
“Apa yang kalian lihat hah? Panggil ambulans!!! CEPAAAAT!!!!” ucapku mencak mencak tak karuan.
“Pritha……… bertahanlah…..” bisikku padanya lemah.
*****

“Apa? Kanker otak?” aku tercengang. Pritha tidak mungkin mengidap penyakit itu. Aku tahu dia orang yang kuat. Tuhan….. “Kenapa dia nggak cerita? Kenapa…. Aku nggak pernah tahu tentang ini?”
“Maafkan tante, Sayang. Pritha sangat sayang sama kamu. Dia melarang tante dan om untuk cerita penyakit ini ke kamu. Dia nggak pengen kamu khawatir, Nak” jelas Tante Vivi dengan nada yang sengaja dibuat tenang.
“Separah apa kankernya?”
“Sudah stadium akhir. Sebulan yang lalu kami mencoba untuk menjalani terapi diluar negeri. Namun, pihak kesehatan di sana sudah menyerah, Nak. Terlambat bagi kami untuk melawan kanker di tubuh Pritha. Sesampainya kami di rumah, Pritha langsung merengek memaksa untuk datang ke rumahmu, Nak. Alhasil, beberepa malam lalu tubuhnya kembali melemah. Kondisinya drop. Tadi pagi, saat dia sadar dan agak membaik, dia memaksa agar diantar ke tempat latihan basket tempat kamu biasa latihan. Dia bilang, dia ada janji sama kamu. Tante nggak yakin untuk ngijinin dia ketemu kamu, tapi dia memaksa. Dan sekarang………” tante Vivi terisak. Kalimatnya terhenti. Airmuka yang tadi Nampak tegar, kini berubah menjadi sesal.
Satu demi satu kejadian yang ada di ceritakan Tante Vivi dengan rinci meski diselai dengan isak tangis yang kunjung henti dari beliau. Semua seakan terputar kembali, bagai sebuah film kelam yang sama sekali tak ingin ku saksikan namun terus ku bayangkan.
“Sabar ya, Te. Pritha itu orang yang kuat. Tante tahu itu kan?” hiburku pada tante Vivi seadanya.
“Semoga saja, Nak. Dia sudah cukup lama menderita karena kanker ini. Sudah hampir 9 tahun yang lalu. Dulu sempat pulih, dan dokter sudah menyatakan dia sembuh. Tapi…… kanker itu muncul lagi…… :(” Tante Vivi tenggelam dalam isakan tangisnya yang pilu.

Papa Pritha terdiam.
Aku pun tertdiam, terduduk lesu penuh sesal. Mengalir air mataku yang seakan percuma. Karena aku telah gagal melindungi Pritha. Gagal menjaga Pritha.

Kini aku tak tahu harus berbuat apa. Inginku putar kenbali waktu. Ingin ku cabut semua kata-kata kasarku pada Pritha. Ingin ku hapus semua prasangka burukku akan dia. Aku hanya bisa berlari. Membawa diri ini untuk menjauh dari badan Pritha yang masih dalam kondisi kritis. Aku ingin terus berlari, berharap menemukan sebuah jawaban atas segala segala rasa yang kini berkecamuk dalam dada.

Tiba-tiba langit mendung. Tetes-tetes air langit turun basahi tanah bumi. Gemuruh bergelegar, saling bersautan seakan alam sedang marah. Apakah sang alam marah padaku atas Pritha? Terkutukkah aku sudah?
. . .
“Tuhan….. kenapa Engkau gariskan ini terjadi padaku??????” teriakku tak jelas, sesampainya aku pada suatu tempat yang dahulu sering ku kunjungi..
“Kenapa Engkau biarkan  ini terjadi dalam hidupku untuk yang kedua kalinya, Tuhan? Belum cukup Engkau hancurkan hati ini dengan kepergian Findha??!!! Kenapa sekarang Pritha juga harus mengalami hal yang sama dengan halnya Findha?? Apa aku tak boleh bahagia, Tuhan? Apa aku memang tak pantas untuk mencintai dan dicintai oleh orang-orang istimewa seperti mereka?”
Aku tahu ini salah. Tak seharusnya aku menyalahkan kuasaNya yang Mahaagung. Tapi, harus dengan siapa lagi aku mengadu kini?
“Findha, lo tahu kan gimana hancurnya hati gue saat lo emang harus ninggalin gue untuk selamanya?” tanyaku pada pusara yang ada di hadapanku. “Sekarang, gue harus ngalamin lagi yang namanya kehilangan orang yang gue sayang, Dek…”
Aku hanya dapat terus terisak. Terus tenggelam dalam banjiran airmata di bawah guyuran hujan. Terus berkeluh kesah akan semua sakit yang ku rasa, pada pusara di hadapanku. Pusara yang bernisankan “Findha”. Sosok teristimewa dalam hidupku. Adikku…..
*****

29 Desember 2011
“Kamu pinter banget menyembunyikan semua ini dari aku. Dasar anak nakal!” ucapku pada sosok yang masih enggan membuka kedua matanya. Ia masih lelap dalam tidurnya yang panjang. Meski demikian, aku beserta keluarga Pritha yakin, Pritha pasti akan bangun dari lelapnya. Bangun untuk kembali tersenyum. Senyum yang mampu untuk membuat sang mentari malu dan selalu ingin bersembunyi di balik awan.
“Kamu tahu kan hari ini adalah hari yang kamu tunggu setahun yang lalu. Tujuh tahun persahabatan kita. Kamu juga tahukan, sekarang aku uda kuliah di bidang kedokteran. Apa kamu nggak pengen tau ceritaku waktu di kampus? Seru banget, Tha!” aku terus mngoceh sendiri. Entah, orang-orang di sekitarku telah menganggapku gila atau tidak. Tak peduli, yang terpenting Pritha segera sadar dan dapat kembali tersenyum. Walau matanya terpejam, aku yakin mata hati Pritha mampu merasakan semuanya.
Ku letakkan tangannya di atas kepalaku. Ke genggam erat tangnnya yang dingin. Ku cium punggung tangannya dengan penuh rindu, penuh sesal.
“Selamat hari persahabatan, Tha. Seven years of our love” bisikku sambil kembali mencium punggung tangannya.
Ku benamkan tubuhku dalam lipatan tanganku. Inginku pejamkan mata, dan menemuinya dalam alam bawah sadar. Mencari bayangannya dalam tiap kenangan yang terus mengaduk-aduk otakku.
. . . .
---pukul 21.00---

“Pram…..”
Suara itu terdengar lemah. Suara yang hampir hilang dari pendengaranku 7 bulan lalu. Suara dari sosok yang ku rindu, . . . . . . . .Pritha.
“Kamu udah sadar?” responku spontan. “Biar aku panggil dokter yah, kamu tunggu bentar disini”
“Pram,…” ucap Pritha sambil memegang pergelangan tanganku, menghentikan langkahku.
“Nggak usah. Aku baik kok. Aku lagi nggak pengen dapet ceramah dari dokter. Aku mohon..” ucapnya masih dengan lemah.
“Oke”. Ucapku patuh. “Aku akan kabarin Mama dan Papa kamu-“
“Pram…” kembali Pritha menatapku dalam. Ia menggeleng. “Aku nggak mau ngerepotin mereka”
“ya ya ya” jawabku setengah kesal.
“Makasi :)” ucapnya sambil nyengir.
“Lo tidurnya lama amat, kaya kebo—“ ucapku membuka perbincangan pertama kami setelah hampir 7 bulan kami mematung dalam perbincangan sunyi.
“Oh ya?”potongnya, berusaha memberi respon yang baik.
“Tapi…. Lo kebo paling cantik di dunia, Tha.”
“Gombal Lo!”
“Aku masuk kedokteran” bisikku.
“Selamat, Pram :)” senyumnya mengembang di bibirnya. Senyum yang selama ini aku rindukan. “Selamat hari persahabatn, Pram” lanjutnya lirih.
“Selamat juga buat kamu, Tha” dapat ku lihat senyumnya terus mengembang dalam wajah pucatnya. Senyumnya bagai bintang pagi yang indah.
“Sekarang tanggal berapa?” tiba-tiba dia bertanya demikian.
“29 Desember :)”
“Oh ya? Waktu berjalan cepet banget ya selama aku nggak sadar..”
“Kan aku uda bilang kamu tidur kaya kebo” godaku
“Aku pengen ke taman, Pram. Bukannya kita uda janji untuk pergi ke taman ditahun ke-tujuh persahabatan kita?”
“lo nggak lupa, Tha :). Makasii” batinku “Udah malem, Tha. Kamu juga baru sadar. Besok aja yah”
“Ayolah, Pram….. semua akan beda kalau besok. Bukannya kamu juga udah janji?” rengeknya manja
“Nggak, Tha!!”
“Pram,…. Please”
“Diluar hujan, Tha”
“Aku takut aku nggak punya waktu banyak untuk ini, aku—“
“Lo ngomong apa sih? Kesempatan kita masih panjang” potongku karena risih akan kalimat yang belum terselesaikan oleh Pritha.
“Pram,…” ku lihat mata beningnya mulai tergenangi air mata.
Ini adalah kelemahanku. Aku paling tak tega jika harus melihat seorang sahabatku seperti itu. “Oke, karena angka 7 merupakan angka bagus dan katanya sih membawa keberuntungan, aku anter kamu. Tapi inget, kamu juga harus sesuain sama kondisi kamu” jawabku kemudian.
“Oke, nanti kalau aku uda nggak kuat. Aku bakal ngelambai’in tangan kok :D”
“Snting lo! Aku percaya kamu :)”
“:)”
****
. . .
-pukul 23.45-

Hujan masih belum reda, makin deras malah. Aku dan Pritha masih mematung memandangi tiap tetes air langit yang turun, kemudian mengembun pada kaca mobil. Kami berhasil sampai di taman ini dengan usaha yang tak mudah. Malam ini aku telah melakukan satu tindak criminal. Menculik anak orang, sekaligus membawa kabur pasien rumahsakit yang baru sadar dari koma.
“Hujannya nggak kunjung reda. Mending kita balik aja yah. Besok kita ke sini lagi” ucapku pada Pritha yang sedang asyik melukis pada kaca mobil dengan embunan air yang ada.
Dia bebalik menatapku. Dia diam dalam beberapa saat. “15 menit lagi hari ini akan berakhir Pram”
“Justru itu, Tha. Mending kita pulang. Hari udah makin malem dan ini sama sekali nggak baik buat kondisi kamu, Tha”
“Karena hari tinggal 15 menit lagi, ayo kita turun dari mobil dan kita langsung menuju ke rumah pohon. Akan menyenangkan walau waktu kita nggak banyak” ucap Pritha seakan tak mendengar apa yang aku katakan sebelumnya.
“Tha,… lo dengerin gue ngggak sih?” protesku pada Pritha yang sedari tadi terus menerawang jauh dan terus berbicara tanpa melihat aku.
“Pram…. Waktu terus berjalan. Waktu kita nggak banyak” ucapannya seakan menandakan bahwa ia benar-benar  tak memperdulikan setiap ucapanku. “Ayo, Pram…..” lanjutnya dengan nada memaksa. Setetes bulir bening meluncur mulus dari hulu pelupuk matanya.
“Tha,… came on…dengerin aku” paksaku sambli menarik tangannya.
“Please,…”  ucapnya melemah. Tetes airmata berikutnya menyusul jatuh dari pelupuk matanya.
“Aku nggak mau kamu kenapa-kenapa Tha. Cuma itu.”
“Aku akan baik-baik aja, Pram. Aku yang tahu seberapa kuat aku bisa bertahan dari semua ini”
Ku tarik napas panjang. Berusaha untuk dapat memutuskan yang terbaik, tadi aku sudah mengalah untuk nekat membawa kabur Pritha ke taman ini, dan sekarang…..
“Okelah, Ayo” kubukakan pintu mobil untuknya.
“:) thanks, boy”. Ucapnya senang, tentu dengan sebiah senyum yang sempat hilang selama beberapa bulan lalu.
Sesaat kemudian ia tampak bingung. Sepertinya ada masalah dengan kakinya. “Bisa bantu aku untuk sampai ke rumah pohon?” tanyanya ragu dan sungkan.
“Ow,.. withpleasure Princess,…:)” ku raih tubuhnya dan ku bopong dia. “Lo makin berat ya, harusnya tambah enteng!! Dasar kebo!!”
“Sialan lo!! Sini biar aku pegang payungnya” tawarnya padaku.
Angin bertiup makin kencang. Pun hujan tak lekas untuk sekejap menghentikan tiap tetes yang ada. Hal ini makin memberatkan langkahku dan Pritha untuk dapat sampai di rumah pohon kami.
“Aaahh,…” Pritha memekik kaget saat tiba-tiba payung yang dibawanya terbawa tiupan angin. ‘Pram,… maaf.. payungnya…” ucapnya dengan suara makin lemah yang beradu dengan derasnya suara hujan.
“tenang, Tha. Bentar lagi kita sampe” ucapku tergopoh-gopoh.
Ku percepat langkahku. Tubuhku sudah kuyup, begitu pula Pritha. Melihat wajahnya yang kian memucat, aku makin khawatir dan merasa serba salah.
. . .

“Kita udah sampe, Tha” ucapku pada Pritha yang tampak kian lemah di pangkuanku. Wajahnya kian memucat. Guyuran hujan makin membuatnya lemah.
“makasii, Pram…” ucapnya sambil meraba ukiran tulisan yang ada di pohon Mahoni milik kami. “Makasii kamu udah mau temenin aku, jaga aku—“
“Tha,… udah… :)” ku tatap matanya yang bulat nan penuh akan ketulusan cinta. Ia tetap menggigil walau sudah mengenakan jaket miliknya. Ku kenakan jaket ku untuk melapisi tubuhnya yang kuyup. “Aku seneng banget bisa kenal dan bersahabat ama orang kaya kamu”
“nggak kerasa ya, udah tujuh tahun kita sama-sama. Rasanya baru kemarin, tapi kenapa ya rasanya hari ini semuanya akan berakhir—“
“Sssstttt,…… ku letakkan telunjukku pada bibirnya yang pucat dan gemetar. “Waktu kita masih panjang” bisikku pilu.
“Aku harap, Pram” ucapnya lelah sambil menarik masuk tubuhnya dalam dekapanku. “Maaf kalau selama ini aku nyembunyiin masalah ini ke kamu. Aku udah nggak jujur ke kamu”
Ku peluk ia erat. Semakin lama semakin ku eratkan dekapanku padanya. Dan makin terasa pula tubuhnya yang kian melemah dan gemetar. “Tha, kita balik yah. Inget ama janji kamu buat jaga kondisi kamu”
“Nggak, Pram,….” Ia menggeleng di dadaku, dalam dekapanku. “Semenit lagi, Pram… hanya tinggal semenit hari ini akan berakhir.. tetaplah seperti ini. Jangan lepaskan semua ini, Pram.” Ucapnya makin lirih dan lelah dari sebelumnya.
Ku rasakan kulitnya yang kian dingin dalam genggaman tangannya. Ku eratkan pula dekapanku pada tubuhnya, hanya berharap agar ia masih bisa merasakan hangat. “Jangan tinggalin aku kaya Findha ya Tha”
“Nggak, Pram. Nggak akan.” Ucapnya pelan. “Dan asal kamu tahu, Findha nggak pernah ninggalin kamu, dia selalu ada di sisi kamu. Dia bener-bener adek yang istimewa, Pram. Seperti kata-kata kamu dulu”
“Iya,… dia istimewa” ucapku dengan linangan airmata yang mulai jatuh. “Sama istimewanya sama kamu, Tha :)” ucapku pahit. “Aku sayang sama kamu, Tha”
“J aku juga, Pram” ucapnya sambil menatap mataku dalam. “Aku sayaaaang banget sama kamu :)” ujarnya sambil beruaha tersenyum wajar. Meski tetap saja senyumnya makin menambah pahit luka hati ini.
“I love you” bisikku.
“really?”
“I do. You’re a special one in my life. My best friend. You never be changed in my heart” lanjutku padanya.
“I’m great to hear that :). I love you too, boy. You’re the best in my life. Kamu anugrah paling indah, Pram.”
Ku dekap tubuhnya. Aku tak kuasa lagi untuk menatap matanya lebih lama. Tak memiliki daya untuk mendengarkan setiap kata yang diucapnya lirih dan lelah. Ingin terus ke peluk ia. Tak ingin melepaskannya. Seakan, jika aku melepaskan dekapanku ini, maka aku akan kehilangan semuanya. Kehilangan untuk selamanya.
Ku lirik jam tanganku. Waktu telah menunjukan pukul 00.00 Tepat tengah hari. Jika sang jarum jam bergeser sepersekian detik saja, maka hari bahagia bagi kami ini berakhir sudah. Bersamaan dengan berjalannya sang waktu dan bergantinya hari, hujan pun mereda , berganti dengan rintik gerimis yang turun. Angin yang tadinya bertiup kencang, kini menjinak berganti dengan tiupannya yang sepoi menenangkan.
“Tha,… ayo balik ke rumah akit. Hari udah berganti. Inget kondisi kamu” ucapku memecah sunyi saat ku lihat sang waktu menunjukan pukul 00.01
“. . . “
“Tha,…????” ucapku diterjang berjuta tanya. Ku tarik ia dari dekapanku. “Tha….????”
Wajahnya tampak sangat pucat. Bibir merah mudanya, membiru. Kulit tubuhnya terasa dingin. Sangat dingin. Tubuhnya tak lagi gemetar seperti tadi. Terkesan tak kuasa bergerak malah.
“Tha…….” Ucapku sambil mengguncang ringan tubuhnya. “Kamu udah janji untuk nggak ninggalin aku, kan? Tha?”
Ku periksa denyut nadinya yang terasa amat lemah. Ku lakukan pertolongan pertama sederhana. Ku tekan dadanya perlahan, untuk memancing reaksi dari detak jantungnya.
Tak lama, ia membuka matanya.
Ia tersenyum.
“Pram,…..”
“Sssst,…. Udah. Sekarang aku bawa kamu ke rumah sakit.”

Ia mengangguk pelan. “Aku bahagia banget malam ini.” Ucapnya lelah terbata. “Pram,… maaf aku—“

Ia tak mampu melanjutkan kata-katanya. Dan pada detik itu pula, tarikan nafasnya memberat, denyut nadinya melemah, dan,………
“PRITHAAAAAAAAA!!!!!!!” aku tak mampu melakukan apapun. Ia pergi. Menyusul Findha di sana. “TUHAAAAAAANNNN,…..”
“Innalillahi wa inna ilaihi roji’uun” ucapku pasrah. Ku kecup kenignya sebagai tanda kasih dan cintaku padanya. Mungkin adalah kesempatan terakhirku untuk dapat terus manatap mata bulatnya, mendekap erat tubuh kurusnya.
Angin sepoi-sepoi seakan tak mampu membawa duka ini pergi. Dinginnya Angin malam yang menusuk tulang, seakan tak mampu saingi kepedihan dan kepahitan hati ini. Pritha pergi. Separuh jiwa dan hatiku turut pergi bersamanya. Akankah semua cerita yang ada pun akan pergi bersamanya??
*******

Dearest Love

Cerpen Aisyah Wulansari Rahajeng

Angin membelai tubuhku mesra. Menerobos melalui celah di antara jendela yang tak tertutup rapat. Dengan hembusannya yang kian kuat, ia mampu mendobrak membuka paksa jendela kamar ini. Keras suara bantingan jendela itu, sakit terdengar. Samakah dengan sakit yang ku rasa kini?
Tak sadar linangan air mata kembali jatuh basahi kedua pipi ini. Menangisi kemalangan tiada berakhir buatku. Memang semua tiada guna tuk ditangisi, namun tiada pula yang dapat ku perbuat. Hanya duduk terdiam di atas kasur, merenungi deritaku, bersiap untuk diracuni obat setiap harinya.

‘ceklek,…’

Pintu kamar terbuka. Tampak bayangan gelap datang dari balik pintu. Tak berselang lama, dapat ku lihat tegap tubuh berjalan ke arahku. Wajahnya kelam, terhalang oleh bayang-bayang tirai kamarku.
“Shin Mei-ah…” ucapnya pelan penuh akrab. Perlahan tapi pasti, paras rupawannya dapat jelas terlihat, seiring langkahnya yang semakin dekat dengan tempat dimana ku berada. “Waktunya buatmu untuk minum ramuan dari Kakek…” disodorkannya mangkuk minum berisi ramuan tradisional dari Kakek Hang yang tak lain adalah Kakeknya.
“Aku tidak mau”
Dia menatapku tajam, pandangannya penuh tanya
: ada-apa-dengan-mu-Shin Mei-?-
“Aku bosan” terka ku seakan mengerti kebingungannya. “Pun aku mulai muak dengan semua ini”
“Shin Mei….” Desahnya. “Kau tak boleh begini. Tidakkah kau ingin menyalakan kembang api di malam imlek nanti?”
“Jangan menghinaku dengan ucapan itu!!” sahutku sejurus padanya.
“Oh,… Mei-ah….Ak—“
“Jangan samakan semuanya lagi. Jelas semua berbeda. Aku bukan Mei yang dulu!!” petahku. “Aku hanya dapat bergantung dengan infuse dan obat-obatan yang tiap harinya disuntikkan ke dalam tubuhku. Belum lagi semua ramuan kuno dari Kakek Hang. Kau pun mengerti, bahwa hidupku sudah bergantung daripada itu semua…” ucapku mencak-mencak pada Juan dengan derai air mata yang kian deras.
“Shin Mei-ah” uacpnya terhenti cukup lama. “Baiklah, aku mengerti jika kau lelah dengan semua ini. Tapi percayalah, kau bisa sembuh. Percayalah pada kuasa Yang Maha Esa” tuturnya kemudian. “Mungkin kau butuh waktu untuk sendiri”
Sosoknya melangkah pergi dari ranjang tempat ku berada, dan menghilang di balik pintu kamar yang tadi dibukanya. Tak lama setelah kepergiannya, susah payah ku perintahkan kedua kakiku untuk menuruni ranjang, kemudian berjalan menuju jendela yang tadi terbuka oleh tiupan angin.
*****

Hari ini ada pameran fotografi di balai kota. Dan aku sungguh tak ingin ketinggalan dengan acara yang satu ini. Tiket masuk sudah ku pesan jauh hari tepat sehari setelah pengumuman akan diadakannya pameran itu. Teman-teman satu klub juga tak mau melewatkan hari istimewa ini. Sangat jarang untuk bisa menjumpai pameran fotografi di kota ini. Padahal, hobi yang satu ini banyak memiliki nilai artistic yang patut untuk dibagikan.
Pukul 08.00 aku sudah memarkirkan mobilku di parkiran balai kota. Tertulis di undangan, bahwa acara akan dibuka pukul 09.00 Tampak terlalu rajin memang, tapi kalian juga pasti akan melakuakan hal yang sama denganku terhadap sesuatu yang kalian sukai, bukan?!
‘bruakkkk!!!!’

“Aduuuuhh!!!” teriakku spontan saat menabrak seorang pria tinggi, berkulit putih, dan berambut cepak. Kacamatanya menyembunyikan bola matanya yang indah nan tertutup kelopak mata khas orang Tionghoa.
“Maaf. Tadi aku buru-buru” ucapnya kemudian. “Kamu nggak apa kan?” tanyanya kahwatir.
“Iya. Aku juga maaf” sahutku sembari memperhatikan senyum yang terlukis di bibirnya.
“Gara-gara aku, foto-foto kamu jadi berantakan” dia hanya tersenyum dan sibuk membereskan foto-foto seni fotografo miliknya. “Aku bantu”
“Makasih ya :)” ucapnya saat kami selesai memberaskan file miliknya yang berserakan. “Aku Juan”
“Aku Mei” ucapku sambil menjabat uluran tangannya “Nice to meet you”
“So do I. Kamu tamu di pameran ini?” Aku hanya mengangguk. “rajin banget jam segini udah dateng. Ayo masuk!! Aku panitia pelaksana di sini!!” ajaknya sambil menggandeng tanganku.
*****

Dinginnya hembusan angin menerpa wajahku yang sengaja ku condongkan keluar jendela kamar. Rasa sakit yang ku rasa, seakan hilang saat angin itu membasuh wajahku. Semua seperti terlahir kembali. Semua teringat kembali. Pertemuanku dengan orang yang paling berarti dalam hidupku. Orang yang setia menjaga dan melindungiku hingga saat ini. Orang yang baru saja ku caci beberapa detik yang lalu. Kak Juan Hang
Aku selalu nyaman jika berada di sisinya. Aku tak bisa untuk tidak tersenyum jika di sampingnya. Aku bahagia. Aku sanggup bertahan karana dia. Dia orang yang menguatkanku selain Mama dan Papa. Tapi,… aku tak ingin membawanya menderita bersamaku. Aku lemah. Aku rapuh. Tubuhku sebentar lagi hanya tulang berbelutkan kulit. Wajahku tak lagi mulus. Aku benar-benar telah menjadi sosok lain. Sangat amat tidak menarik.

Aku takut,…. Jika rasa cintanya berubah iba. Iba karena keadaanku sekarang. Manamungkin ada yang mau denganku. Lelaki mana? Maunya dia dengan perempuan buruk rupa dan penyakitan seperti aku. Apa aku benar-benar harus melepaskannya??
Aku tak mau kehilangan Juan. Tapi aku tak mau ia tidak nyaman berada di sisiku. Setetes bulir bening kembali meluncur halus di pipi saat ku pejamkan kedua mataku.
*****

“Sekarang kamu boleh buka penutup matanya!!!” ujar Juan yang sedari tadi menuntunku selayaknya orang buta. “Siap.. siap!! 1….2…..3……. surprise!!”
Aku hanya dapat membuka mulut lebar-lebar. Taman pinggir danau yang telah dihias dengan sangat indah, terpapar saat ku buka kedua mataku. “Ini apa, Kak?”
Belum hilang rasa heran sekaligus terkejutku, ditambahkannya lagi oleh Kak Juan perasaan kaget bukan main. “Would you be my girlfriend?”
Hah????!! Aku membisu. Serasa tenggorokanku tersekat oleh kata-kata yang tak mampu ku ucap. “Tolong Jawab, Mei. Aku serius. Aku ada rasa sama kamu. Kamu mau terima hati aku?”
Masih terdiam. Aku masih tak mampu berucap. Ku tarik napas panjang,… dan,, “Emang aku punya alasan untuk bilang nggak, Kak?” jawabku sekenanya sambil malu-malu.
“Apa itu berarti jawaban Iya?” kembali Juan bertanya. Aku hanya tersenyum tertunduk malu, menyembunyikan wajahku yang memerah.
“Ini sebagai tanda pengikat kita” lanjutnya seraya mengenakan cincin di jemari manisku. “Maaf kalau masih terbuat dari batang rumput. Aku janji, akan ada cincin emas yang melingkar di jemari manis kamu nantinya :)” ucapnya mantap penuh arti.
*****

Ku buka kedua mataku. Ku usap aliran air mata yang menyisakan bekas di pipi. Ku pandangi lekat-lekat cincin yang melingkar di jemariku lebih dari 4 tahun lamanya. Cincin batang rumput dari Kak Juan. Mudah rapuh memang, namun kekuatan cinta di dalamnya tak serapuh keadaan yang terlihat. Tak terhitung berapa kali simpul cincin ini terlepas. Dan Juan, akan segera menyimpulnya kembali atau bahkan menggantinya dengan batang rumput yang baru bilamana ini patah. “Walau cincin ini rapuh dan kita sudah menggantinya berulang kali, percayalah bahwa cinta kita satu sama lain tak akan terganti. Tetap satu nama dalam belahan jiwa kita.” Itulah kata-kata yang diungkapkan Juan setiap kali ia mengganti cincin batang rumput kami yang patah.
“Shin Mei-ah…” suara Mama lembut menyapa dari bayangannya yang mengejar langkah rapuhnya. Otomatis, membuyarkan semua lamunanku tentang masa-masa indah bersama Kak Juan. “Kau belum tidur kah?”
“Belum” aku menggeleng.
“Senja telah berganti malam, jangan kau buka jendela itu lebar-lebar. Angin malam tak bagus buat tubuhmu” beliau merangkul tubuhku dan menitihku ke ranjang. Kemudian beliau berbalik arah, menutup jendela kamarku dan menguncinya rapat. “Angin berhembus sangat kencang malam ini”
“Dingin. Tapi pelukanmu kian hangat terasa, Ma” ku tatap lekat-lekat wanita paruh baya di hadapanku. “Aku sangat mencintaimu, Ma”
“Begitu pula aku, Sayang. Karena itu, tetaplah berada di sisiku” diraihnya tubuhku dan dibawanya aku ke dalam dekapan kasihnya.
“Biarkan tangan Tuhan yang mengatur semua, Ma”
****

Silau mentari pagi hangat menyerbu wajahku yang tersembunyi di balik bantal dan selimut. Sinarnya menerobos celah-celah tirai putih. Seorang yang tak asing buatku, membuka tirai putih itu dan mempersilakan hangatnya mentari pagi penuhi kamarku. “Selamat pagi, Bintang Pagiku!!!”
“Kak Juan?!” ucapku kaget sekaligus kesal. “Dasar pemalas!! Bangun!!, nggak malu sama mataharinya. Udah tinggi tuh!!” celotehnya.
“Cerewat banget sih!!” gerutuku sambil kembali membawa selimut menutupi tubuhku.
“Ayo bangun!! Kalau nggak, aku kilikitik sampe kotak ketawa kamu rusak lho ya!!” godanya sambil menarik kembali selimut yang menutupi tubuhku.
“Aduh kok pagi-pagi udah rebut sih!!” suara Mama tiba-tiba hadir di antara keributan kami. Sosok Papa turut mengekor di balik Mama. “Mei-ah… kamu jangan tidur mulu!! Matahari pagi bagus buat tubuh kamu. Ayo bangun!!” ceramah Mama.
“tuh kan. Apa aku bilang?!” Juan ikut menimpali.
“Iya. Iya. Biasa aja kali!!!” sahutku kesal.
“Bukannya kamu ada jadwal buat check up + terapi hari ini?” sambung Papa. “Ayo bersiap, masa ke dokter masih ada belek matanya” lanjut Papa cekikikan, yang sebenarnya leluconnya sama sekali nggak lucu.
“Terapi ya?” ucapku lesu. Ngeri membayangkan bagaimana cairan-cairan itu disuntikkan ke dalam tubuhku. Kadang terasa dingin bagai es yang akan membekukan urat nadiku. Bahkan kadang terasa panas, bak api yang siap melalap tubuhku lahap-lahap.
“Semua akan baik-baik aja” ucap Juan sembari menepuk pundakku, Seakan memberi kekuatan pada diriku. “Kamu pasti bisa melalui ini, seperti sebelumnya :)”
Aku hanya mengangguk lemah.
*****

Hari ini tiba malam tahun baru Imlek. Ribuan orang bersuka cita menyambutnya. Bersama keluarga menuju ke kuil untuk berdoa, bermain kembang api, menyalakan lampion, meniup terompet, berhias dengan baju adat dan jepit rambut istimewa. Jauh berbeda denganku…
Amat berbeda. Pada malam istimewa ini, aku hanya terkurung dalam kamar. Menyaksikan kembang api besar di langit-langit melalui celah-celah tirai jendela. Merasakan lelah, setelah menjalani kemotrapi.
“Gong Xi Fa Chai!!” sebuah suara tiba-tiba menggema di kamarku.
“Yeah, terimakasih” ucapku sambil memandang sejurus ke arah sosok setia yang terkejar bayangannya. “Aku sudah minum ramuan. Mama sudah mengantarkannya” lanjutku mengomentari apa yang dibawa Juan.
“Oh ya?” responnya menyebalkan.
“Tuh kan,,, balik gih sana! Taruh tuh mangkok” bagai tak menghiraukan apa yang ku ucap, diteruskannya langkah kaki mendekatiku. Tentunya masih dengan menimang mangkok minum. “Buat kamu”
Ku palingkan wajahku, kesal karena diabaikan. “Ku mohon,.. terimalah” paksanya seraya menyodorkan mangkok minum itu. “Jangan paksa aku untuk—“ (sambil melirik ke dalam mangkok)
Bukan ramuan yang terdapat dalam mangkok itu. Dua buah cincin. Cincin yang dijanjikan Juan hampir 5 tahun yang lalu. “Will you marry me?”
Seakan dia bisa mnerka jawaban yang tercekat untu ku ucap. Dipasangkannya cincin itu di jemari manisku, menggantikan posisi cincin batang rumput yang selama ini melingkar di jemariku.
“Thank You J” bisikku lirih sambil mendekapnya erat.
“Semua belum selesai. Ayo ikut!!” diraihnya tubuhku dan di gendonya aku menuju taman belakang rumah.
“Maaf aku tidak meghiasnya seindah dulu” ucapnya saat kami baru saja duduk di kursi taman yang dikelilingi lilin yang sengaja ditata berbentuk hati.
“It’s so beautiful :)”
“Pagang ini!!” pintanya sembari memberikan sebatang kembang api kecil. “Kita rayakan malam tahun baru ini berdua :)” dinyalakannya kembang sumbu kembang api kecil itu.
Sangat indah. Benar-benar malam yang indah. Tuhan terimakasih, telah Engkau kirimkan Juan untuk berada di sisiku. Tak berselang lama, di keluarkannya kembang apai besar. Dinyalakannya dan….. DYAR DYAR DYAR….. semua terpecah di langit malam. Langit malam kini bersolek sangat cantik. Lebih cantik dari biasanya.

Aku hanya mampu menangis. Bahagia merasuki sebagian besar ruang hatiku. Sisanya terisikan oleh haru, karena aku tak mampu melakukan apapun buat mereka.
“Gong Xi Fa Chai!!!” sebuah suara tiba-tiba ikut nimbrung di antar keindahan malam di taman belakang. Mama dan Papa, tak mau ketinggalan menyambut pergantian tahun Shio Naga. Naga, yang melambangkan kekuatan dan penuh keberuntungan. Mereka tersenyum bahagia. Senyum yang selalu memberikan semangat baru dalam jiwa rapuhku. Aku bangkit, tertatih aku berjalan menuju mereka untuk mendekapnya.
“I love You so much!!!” bisikku di antara dekapanku terhadap mereka berdua. “Aku bangga, terlahir menjadi putri kalian :)”
“Kami sangat bangga bisa melahirkanmu, Nak” ucap Papa. “We love you :)” tambah Mama.
Kami saling pandang. Lekat-lekat menatap  senyum yang tercipta di bibir kami masing2. Air mata haru tumpah ruah. Seakan bukti akan rasa cinta di antara kami.

Tiba-tiba….
Kepalaku pusing. Semua bagai berputar-putar. Sakit mendalam merajam kapalaku. Aku berusaha menahan, membuat orang-orang di sekelilingku tak khawatir. Namun percuma. Sakit itu memaksaku untuk menyerah menahannya. Kurasakan, kedua kakiku mati rasa. Aku ambruk. Menggigil badanku kemudian. Dapat ku rasakan Juan memangkuku. Dengan sigap ia menangkap tubuhku yang ambruk tadi. Mama menangis, Papa cemas, Juan hanya membisu. Perlahan semua bayangan mulai nampak kabur. Dengan sisa-sisa kekuatan yang ada, aku berusaha untuk berucap.
“A..aakku,,, sss..sayyy..yang… kkk..kalll..lian. mmmaaffin aaakkkk,,,ku”
Dlam!!

Gelap.

Semua hilang.

Wajah Mama, Papa, dan Juan tak tampak sudah. Hanya gelap yang ada. Samar-smar terdengar jeritan Mama yang meronta. Ingin ku peluk Mama dan mengatakan semua baik-baik saja. Namun tak berarti. Tak ada arah pasti buatku kini.

Tak jauh dari tempat ku berada, ku lihat satu titik sinar di ujung sana. Terang. Menarik diri ini agar menghampiri titik itu. Perlahan tapi pasti, ku langkahkan kaki menuju titik putih itu. Titik putih yang menjdi penerang dalam gelap duniaku detik ini.
*****

Senin, 05 Maret 2012

TREEJI

Treeji membuktikan eksistensi mereka di dunia musik. Dibanding format solo dan band, tidak banyak penyanyi yang berani mengekspresikan musikalitas mereka lewat group vokal trio. Namun, berbeda dengan Rizky, Jiseph dan Tarra, tiga sahabat yang sebelumnya dikenal sebagai model. Lewat bendera trio Treeji, ketiganya sepakat menunjukkan kebolehan mereka dalam berolah vokal. Sebagai single perdana mereka, tiga cowok keren itu langsung menggebrak dengan lagu karya Tengku Syafick berjudul Tak Mungkin. Kita tidak ingin dikenal luas karena fisik semata. Sebagai penyanyi, kami berharap dapat memberikan sesuatu yang lebih bagi penggemar kami dan penikmat musik Indonesia pada umumnya, urai ketiganya. Bagi ketiganya, kepercayaan penuh yang diberikan label big indie Nagaswara untuk merilis single perdana mereka, harus dibayar dengan performa tinggi sekaligus prima. Mereka juga menyadari ketatnya persaingan di industri musik Tanah Air yang masih berkiblat pada anak band atau para penampil solo. Ini seperti melawan arus. Tapi kita tetap berharap dapat menjadi trio yang sukses sukses, kata Jiseph.Satu lagu grup vokal mewarnai blantika musik Tanah Air. Setelah sukses merilis single pertamanya "Tak Mungkin", group vokal TREEJI kembali menunjukan eksistensinya dengan menelurkan single keduanya "Lebih Baik" juga ciptaan Tengku Shafick.
Grup vokal yang beranggotakan Tarra, Rizky dan Jiseph mencoba melebarkan sayapnya menjaring penggemarnya yang ada di Medan. Lewat promo single keduanya, TREEJI sukses menghibur pengunjung.
Treeji Boyband
Boyband Treeji memang udah ga bisa dibilang baru lagi, mereka sudah ada sejak 2009. Cuma mereka memang kurang terkenal, mungkin sibuk dengan aktivitas masing-masing. Anggotanya Tarra Budiman (sering nge-host di SCTV/inbox), Muhammad Rizky Alatas (ada di arti sahabat yang jadi mike) dan Jiseph Hakim.
Mereka udah ada beberapa single, yaitu : Tak Mungkin ; Lebih Baik.
                                                                  BIODATA TREEJI

Muhammad Rizky Alatas

Nama : Muhammad Rizky Alatas
Nama Beken : Rizky Alatas/Rizky Treeji
Tempat Tanggal Lahir : 27 Juli 1991
Motto Hidup: ’Trying To Be A Better‘
SMA: SMAN 65 Jakarta
            Rizky suka sekali dengan tokoh Doraemon n Lionel Messi. . .
 Rizky merupakan cwok yang supergombal,, namun dibalik sifatnya yang seperti itu Rizky Alatas merupakan cwok yang romantiz,..
Rizky alatas merupakan salah satu jebolan dari Supermama. Rizky bersama ibunya yaitu mama Nila mengikuti Supermama pada tahun 2009.
Selepas dari Supermama Rizki pernah membintangi beberapa sinetron seperti Inayah, disini Rizky berperan sebagai Malik dan sekarang Rizkiy tengah disibukan dengan sinetron barunya yaitu Arti Sahabat, salam sinetron ini Rizky berperan sebagai Mike. 
                                                      TARRA BUDIMAN
Bimantara Budimansyah atau yang dikenal sebagai Tarra Budiman lahir di Denpasar, 22 September 1986. Dia adalah seorang aktor Indonesia. Tarra Budiman sering bermain di beberapa sinetron, dan FTV dan dia juga sering menjadi Host di Inbox SCTV.

Filmografi :
- "Tentang Cinta" (2007)
- "Coblos Cinta" (2008)
- "Di Bawah Lindungan Ka'bah (2011)

Sinetron :
- "Dimas dan Raka" Global Tv 2008
                                                    JISEPH HAKIM
lahir pada tanggal 21 September 1985.
Jiseph Hakim dikenal karena perannya sebagai Bondan di Sinetron Satrio Piningit (MNC TV).Dia memiliki hobi menulis catatan2 kecil yang sangat bijak dan diberi nama #Jisefootnotes . Sehingga dia disebut sebagai Kakak bijak oleh para Treelovers. Dia menjadi team promo di @TANDAMATABali dan @LEMARIstore. Memiliki hobi mengkoleksi buku Chicken Soup dan Harry Potter series.